Persoalan SDIT dan Kwalitas Sekolah Negeri



Essai : Fadliriansyah
Pimpinan Umum media sagonews.com 

Limapuluh Kota - 
SDIT (Sekolah dasar islam terpadu) baru - baru ini menjadi trending topik di Kabupaten Limapuluh Kota, Provinsi Sumatra Barat. Ada dilema nan terlihat dari sekelumit persoalan nan terjadi di tengah - tengah masyarakat.

Pertanyaan pertamanya, adalah SDIT ini berada di bawah naungan siapa ? Apakah di bawah kementrian Dikdasmen (pendidikan dasar dan menengah) atau di bawah Kemenag (kementrian agama) ? Sehingga SDIT mempunya otoritas untuk menyelesaikan masalah yang terjadi, tidak ujuk - ujuk membawa ke ranah hukum.

Agak miris rasanya melihat warga lokal yang pada akhirnya berurusan dengan masalah hukum, hanya gara - gara menuntut haknya sebagai masyarakat yang menurut undang - undang, dilindungi oleh negara ! 

Sebagai "swasta" yang berusaha atas nama yayasan agama, semestinya usaha itu harus memperhatikan kaedah - kaedah kemasyarakatan. Dimana menurut hemat penulis, pemerintah yang bertugas untuk melindungi dan mengayomi masyarakat, sama sekali tidak boleh kalah oleh swasta. 

Jika diurai satu persatu, masalah yang terjadi di Kabupaten Limapuluh Kota, motifnya hampir sama. Yaitu sekolah SDIT atau pesantren, yang berada di pemukiman masyarakat "kampung."

Bagaikan usaha kuliner dengan harga mahal yang hanya dapat dimakan oleh orang - orang kaya, sementara masyarakat kampung hanya bisa menelan ludah, karena kesannya bagus tapi tak dapat mereka nikmati. 

Pertama di pesantren ICBS kawasan lembah harau, lagi - lagi pemerintah harus berperang dengan pihak yayasan, satu hal yayasan meng-klaim bahwa mereka telah berjasa besar untuk mendatangkan wisatawan. Namun nyatanya retribusi tak mereka bayarkan ?  Namun hingga saat tulisan ini diturunkan belum juga diketahui tentang kelengkapan izin ICBS sebagai sekolah dan sebagai asrama pondok pesantren. 

Kendati pada sebuah video, Ustad Ihsan Annas selaku pimpinan ICBS menyatakan izin ICBS telah lengkap, namun menurut sumber istimewa, berdasarkan RTRW Pemda Limapuluh Kota, kawasan tersebut diperuntukkan untuk pemukiman warga dan kawasan wisata.

Beranjak ke SDIT Al-Huffaz di Nagari Sariak Laweh, Kecamatan Akabiluru, juga terjadi gejolak antar warga dan yayasan. Warga memasang portal sebagai bentuk protes, sedangkan yayasan membawa persoalan ke ranah hukum.

Sekelumit persoalan yang terjadi antara sekolah agama dengan promosi yang "wah" di atas, penulis rasa dapat diselesaikan oleh lembaga yang bertanggung jawab, seperti Dinas Pendidikan jika sekolah itu berada di bawah naungan Dikdasmen, atau Kemenag jika itu pesantren atau madrasah. 

Terpisah dari persoalan konflik masyarakat itu, juga terjadi masalah dengan sekolah negeri. Saat ini, sekolah negeri seolah - olah direndahkan kwalitasnya oleh sekolah swasta, padahal secara kurikulum mereka sama. Bahkan SD negeri saat ini, juga memasukkan tahfiz, ke dalam muatan lokal mereka. (*)